KOTA SEMARANG, BANKOM SEMARANG NEWS.ID – Kampung Pelangi di kawasan Gunung Brintik, Randusari, Kota Semarang, tidak hanya dikenal karena warna-warni rumahnya yang memikat mata wisatawan, tetapi juga menyimpan kisah sejarah panjang yang menjadi bagian dari awal mula peradaban Semarang.
Menurut pemerhati sejarah kota, Pudjo Koeswhoro, perjalanan mengenal kawasan ini sejatinya merupakan lanjutan dari riset lapangan berjudul “Menyusuri Lorong Kampung Gunung Brintik Bergota”. Kawasan ini ditandai oleh deretan rumah-rumah warga yang dicat cerah berwarna-warni, berdiri di sekitar Pasar Bunga dan Tanaman Hias Kalisari, serta berdekatan dengan Taman Kasmaran yang diresmikan pada tahun 2018.
“Gunung Brintik pada masa silam merupakan bagian dari Pulau Berintik yang menyatu dengan Pulau Tirang Amper kini Bukit Mugas dan Pulau Pragota atau kawasan Bergota. Ketiganya dulu membentuk saujana Pelabuhan Pragota pada masa Kerajaan Mataram Kuno,” ujar Pudjo Koeswhoro saat ditemui di Semarang, Kamis (09/10/2025).
Baca juga : Polda Jateng Perkuat Fungsi Humas Polri Lewat FGD Pemantauan Komunikasi Publik
Menariknya, dari sisi timur Gunung Brintik terdapat Pasar Randusari, rancangan arsitek Belanda terkenal Thomas Karsten, yang menjadi cikal bakal pasar modern di Semarang. Tak jauh dari lokasi tersebut juga berdiri Bukit Mugas, tempat Ki Ageng Pandanaran memulai dakwah Islam pada tahun 1476 kepada masyarakat yang telah bermukim di sekitar Pragota dan Berintik.
Sementara itu, catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelum Ki Ageng Pandanaran datang, kawasan Guwa Sela (Simongan, Bongsari) telah menjadi tempat pendaratan Laksamana Wang Jing Hong dari ekspedisi laut Cheng Ho pada tahun 1417. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kawasan tersebut pernah menjadi pelabuhan penting yang terlindungi secara alami dari laut utara Jawa.
“Kawasan ini adalah bukti penting hubungan lintas budaya dan agama di masa lalu, mulai dari pengaruh Tiongkok, penyebaran Islam, hingga kolonial Belanda. Sayangnya, upaya revitalisasi wisata sejarah dan air di sepanjang Kali Semarang masih belum maksimal,” imbuh Pudjo.
Baca juga : Antisipasi Kasus Keracunan, Polrestabes Semarang Gelar Rapat Koordinasi MBG
Kini, Kampung Pelangi yang sempat viral di tahun 2018 mulai kehilangan warna dan pesonanya. Revitalisasi kawasan Kali Semarang sebagai wisata air juga belum berjalan optimal. Kondisi sungai yang dangkal dan sedimentasi tinggi membuat jalur perahu wisata belum bisa dioperasikan.
Sebagai pembanding, wisata perahu Kali Pepe di Surakarta telah berjalan sejak 2019 dan menjadi destinasi edukatif berbasis sejarah yang berhasil menghidupkan kawasan sekitarnya.
“Kalau ingin menghadirkan koridor wisata air Kampung Pelangi – Kali Semarang – Pecinan, perlu perencanaan detail dan keseriusan dari berbagai pihak. Ini bukan hanya soal estetika, tapi soal menghidupkan kembali identitas kota,” pungkas Pudjo Koeswhoro dengan harapan.
Baca juga : Sinergi Pemerintah dan Komunitas Ojol, Jaga Keamanan Sosial Lewat FGD Strategis
Dengan potensi historis, arsitektural, dan sosial yang kuat, Kampung Pelangi dan kawasan Gunung Brintik sejatinya bisa menjadi ikon wisata budaya dan sejarah yang membanggakan Kota Semarang asal revitalisasi sungai dan kampung dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis riset sejarah. (Red./Kholis/.hms)