YOGYAKARTA, BANKOM SEMARANG NEWS.ID – Malam di Yogyakarta terasa berbeda, Jumat (29/08/2025). Dari halaman Mapolda DIY, ribuan massa aksi masih bertahan menyuarakan aspirasi dengan lantang. Namun, ketegangan perlahan mencair saat alunan “gending Raja Manggala” terdengar dari gamelan yang dimainkan. Irama sakral khas keraton itu menandai langkah seorang raja yang keluar menemui rakyatnya.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, berjalan kaki keluar dari gedung Polda DIY. Didampingi para putri dan kerabat kerajaan—GKR Condrokirono, GKR Hayu, serta KPH Yudanegara bersama Kapolda DIY Irjen Pol Anggoro Sukartono, Sultan hadir dengan wibawa sekaligus keteduhan.
Baca juga : Polres Kendal Gelar Sholat Ghaib, Doakan Korban Insiden Demonstrasi Jakarta
Seperti saat beliau “miyos” (keluar) menerima tamu agung di keraton, kedatangan Sultan malam itu membawa nuansa berbeda. Ribuan massa yang sejak siang penuh amarah, tampak terdiam khidmat menyambut sosok pemimpin yang datang bukan dengan pengeras suara, melainkan dengan langkah dan simbol budaya.
Di hadapan massa, Sultan HB X menyampaikan pandangan yang menyejukkan. “Yang Anda lakukan adalah bagian dari tumbuhnya demokrasi di Yogyakarta. Saya menghargai itu, dan saya sepakat. Tapi demokratisasi harus dilakukan dengan baik, untuk mendidik kita semua, termasuk saya,” ucap Sultan dengan suara tenang.
Ucapannya disambut riuh rendah tepuk tangan, namun tanpa teriakan. Massa yang semula menegang, luluh mendengarkan petuah “Ngarso Dalem”.
Tidak hanya meredam suasana, Sultan juga menyampaikan rasa dukanya atas korban yang jatuh dalam aksi di Jakarta. Ia menyebut nama Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang meninggal usai tertabrak kendaraan taktis Brimob.
“Saya sangat prihatin dan berduka cita atas meninggalnya Affan. Mengapa selalu ada korban dalam membangun demokrasi? Di Yogya, kita bisa berdialog, karena Yogya adalah tempat menghargai hak warga,” ungkap Sultan, disambut hening dan wajah tertunduk para demonstran.
“Gending Raja Manggala” yang terus mengalun seakan menyatu dengan kata-kata beliau, menegaskan pesan bahwa demokrasi di Yogyakarta dibangun lewat kelembutan, bukan kekerasan.
Baca juga : Buruh Jateng Gelar Aksi Damai di Semarang, Polisi Kawal Aksi Buruh dengan Humanis
Dalam kesempatan itu, Sultan menekankan pentingnya jalur dialog. Ia bahkan menawarkan diri untuk menjadi penyambung lidah massa aksi kepada pemerintah pusat.
“Kalau tenaga dan pikiran saya dibutuhkan, silakan. Tapi harus ada surat resmi sebagai dasar saya berbicara dengan pemerintah pusat. Kalau menyerahkan surat, cukup dua sampai tiga orang saja,” pesannya.
Baca juga : Peringati Hari Jadi ke-77, Polwan Polres Kendal Gelar Ziarah di TMP Kusuma Jati
Menjelang dini hari, Sultan menutup pertemuan dengan ajakan sederhana namun penuh makna.
“Mari kita sama-sama pulang dan tidur,” katanya, sebelum meninggalkan halaman Polda dengan iringan “gending” yang kembali terdengar syahdu.
Baca juga : Beli LPG 3 Kg Wajib Pakai NIK Mulai Tahun Depan, Pemerintah Pastikan Tepat Sasaran
Salah satu peserta aksi, Ahmad Fauzan (27), mengaku tersentuh dengan kehadiran Sultan.
“Kami datang dengan marah, tapi begitu beliau bicara, rasanya adem. Kami merasa didengar tanpa harus bentrok,” ujarnya.
Baca juga : Sinergi Pemkot dan Stakeholder Dorong Tingkatkan Indeks Demokrasi Kota Semarang
Sementara itu, Kapolda DIY Irjen Pol Anggoro Sukartono menilai langkah Sultan sangat berarti dalam meredakan situasi.
“Beliau datang bukan hanya sebagai gubernur, tapi sebagai simbol budaya dan pemersatu. Itu yang membuat massa tenang,” katanya.
Baca juga : Media Mitra Strategis, Polri Perintahkan Perlindungan Wartawan di Lapangan
Malam itu, Yogyakarta memberi pelajaran berharga bagi demokrasi Indonesia: bahwa pemimpin bisa hadir tanpa kekerasan, cukup dengan suara yang meneduhkan dan simbol budaya yang melekat di hati rakyatnya. (Kholis)